Dulu gua selalu berpikir bahwa gua suka travelling. Di tahun 2015, gua punya mimpi untuk keliling Indonesia dan dunia. Mimpi keliling dunia adalah mimpi yang selalu gua catat di little dreams yang ingin gua penuhi.
Menariknya, semesta ternyata mencoba mengabulkan salah satu little dream gua. Ya, hari di mana gua mengawali pengalaman excessive traveling akhirnya tiba. Ini terjadi beberapa tahun lalu, yaitu di pertengahan tahun 2016.
Di bulan Juli tahun 2016, gua dapat tawaran dari PT. Ruang Raya Indonesia (RuangGuru) untuk magang di Divisi Government Relation. Tugasnya simpel, yaitu untuk bertemu Kepala Dinas Pendidikan di berbagai kota di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, dan Sulawesi Selatan.
Karena posisinya cukup menantang dan penuh dengan pengalaman travelling, tawaran tersebut langsung gua terima detik itu juga. Gua sangat excited. Jalan-jalan gratis, bro! Dan bukan hanya itu, gua pun dapet uang makan yang cukup banyak dan juga hotel yang bisa dibilang enak banget lah setiap harinya (baca: minimal bintang 3).
Ini di Tanjung Bira, Sulawesi |
Tapi tahu gak? Pengalaman itulah yang membuat gua sadar bahwa sebetulnya... gua benci travelling.
Minggu pertama sih emang kerasa enak. Ngeliat sunset, makan enak, makan makanan tradisional yang berbeda di tiap daerahnya, keliling alun-alun kota dan wisata alam yang berbeda juga setiap harinya, dan banyak lagi pengalaman-pengalaman baru yang didapatkan.
Sayangnya, setelah minggu kedua dan minggu ketiga berlalu, semua experience yang menyenangkan tersebut berubah. Bahkan untuk melihat matahari senja yang katanya indah saja rasanya gua muak dan ingin muntah (tolong maafkan saya yah, wahai para pembaca penikmat indiefolk dan senja :( ).
Yap, di sinilah terjadi kejadian bersejarah. Untuk pertama kalinya gua kangen kosan.
Ini unik karena seumur hidup gua gak pernah kangen rumah atau kosan. Jarang banget lah. Tapi sekarang? Gua kangen kasur empuk dan nyaman di kosan gua, ya meskipun gak sebagus dan sewangi kasur-kasur di hotel. Bahkan bisa dibilang kasurnya tuh jelek dan bau.
Ini menarik karena waktu itu adalah waktu di mana gua baru merasakan bagaimana rasanya excessive travelling. Pindah-pindah kota tiap hari. Ini pertama kalinya gua merasakan pekerjaan impian gua dan memenuhi salah satu little dreams gua.
Ironisnya, ternyata rasanya sama sekali gak enak. Ya, gua ulangi sekali lagi, rasanya tuh gak enak.
Gua gak bisa ngebayangin apa yang akan terjadi kalo gua keliling dunia nanti. Entahlah, mungkin gua akan menyerah dalam waktu sebulan karena kangen kosan.
Tentu pengalaman ini membuat gua mencari tahu dan bertanya-tanya:
“Kok bisa ya gua benci travelling. Padahal kan mimpi gua adalah untuk 'travelling around the world'.
Kok bisa-bisanya gua kangen kosan gua yang sangat gembel di Depok?”
Nah, setelah berkontemplasi cukup lama dalam perjalanan yang panjang keliling berbagai provinsi dan kota, gua akhirnya menemukan alasannya. Alasannya adalah sebagai berikut:
Pertama, humans love stability: Taking risks is a no-no.
Di titik tersebut, gua baru sadar bahwa ternyata kita sebagai manusia itu emang hardwired untuk menjaga stabilitas hidupnya. Manusia emang suka travelling, tapi manusia juga gak suka pindah terus-terusan. Lama-lama ya capek juga.
Inilah alasan kenapa kita (manusia) membentuk peradaban dalam bentuk desa, kota, dan juga perumahan. Sesederhana karena kita butuh stabilitas sosial dan ekonomi. Kita butuh satu tempat yang aman dan nyaman untuk bisa hidup, makan, bercocok tanam, menikah, beranak dan menikmati semua hal tersebut sampai mati dengan keluarga kita. Cukup satu tempat aja, gak perlu untuk pindah-pindah terus.
Belum lagi fakta bahwa kita juga punya attachment dengan tempat tinggal kita. Kita mengidentifikasi tempat tinggal atau “rumah” kita sebagai tempat yang aman dan nyaman. Tempat berpulang ketika lelah, tempat untuk leyeh-leyeh di akhir minggu, dan tempat untuk rileks sejenak dari penatnya kehidupan.
Tentu ketika kita meninggalkan tempat paling nyaman yang kita tempati sebelumnya, akan ada perasaan kehilangan. Pasti akan ada rasa kangen lah. Apalagi ketika kita merasakan lelahnya travelling ke sana-sini. Gitu.
Kedua, travelling bukan masalah "ke mana", tapi "sama siapa".
Kebahagiaan akan menjadi jauh lebih besar efeknya ketika di-share dengan orang terdekat kita. Coba aja analisis memori yang paling lo inget 5-10 tahun lalu. Pasti semuanya adalah memori yang berkaitan dengan emosi negatif atau positif yang lo alami.
Dan tentunya, memori tersebut adalah tentang pengalaman emosional yang lo alami ketika berhubungan dengan orang lain. Sebut saja ketika lo di-surprise-in dan dijailin pas ultah, atau pas lo pertama kali kencan, atau pas lo dimarahin sama dosen karena nyontek di kelas.
Semua pengalaman emosional yang dialami dengan orang lain tersebut tentu akan dirasa lebih memorable dibandingkan dengan pengalaman lainnya, karena pengalaman yang lo alami di-share dan terkoneksi dengan pengalaman orang lain. Ini karena manusia adalah makhluk sosial. Kita butuh untuk hidup berdampingan dengan manusia lain.
Dan tentu kita menginginkan lebih banyak pengalaman emosional dengan orang-orang terdekat kita, karena kita bisa lebih bahagia dan mengingat memori tersebut dibandingkan dengan saat kita mengalami pengalaman tersebut sendirian.
Nah, ini berpengaruh pada pengalaman travelling. Akan beda ketika lo travelling sendiri dibandingkan ketika lo travelling dengan orang lain. Emang sih, akan jauh lebih susah dan ‘ribet’ ketika travelling dengan orang terdekat lo. Dan mungkin lo juga bukan hanya akan mendapat memori positif, tapi juga negatif.
Tapi ya balik lagi. Memori-memori positif dan negatif itu akan jadi memori yang lebih lo inget. Karena memori itu memiliki makna yang signifikan. Lo merasakan momen-momen itu bersama orang terdekat lo. Lo merasakan emosi tersebut bukan cuma atas dasar pekerjaan atau kepentingan doang, tapi karena lo memiliki koneksi dengan orang tersebut.
Untungnya temen kerja dan mentor gua itu asik. Jadinya perjalanannya pun jadi memorable. Gua gak akan pernah lupa momen saat kita berkunjung ke pantai di daerah Tanjung Bira dan juga momen di hotel ketika kita main game Truth or Truth bareng. It’s fun, actually. Tapi ya gitu, kita semua tentu kecapekan karena… (baca di alasan ketiga ya)
Dengan teman kerja |
Ketiga, lagi-lagi, travelling bukan masalah “ke mana” dan "sama siapa" doang, tapi juga “siapa yang menentukan arahnya”.
Kalo kita travelling karena disuruh orang lain atau disuruh perusahaan, kita tuh gak punya otonomi untuk menentukan arahnya. Ini ibarat kita naik motor, tapi kita dibonceng, terus-terusan. Pertama-tama mungkin pengalamannya asik, tapi lama-lama ya pegel juga.
Hal ini karena kita gak bisa nentuin mau di mana dan kapan akan beristirahat. Kita gak bisa nentuin juga akan ke mana tujuan kita. Kita juga gak bisa nentuin pace travelling-nya bakal kayak gimana. Semua tergantung sama suruhan atasan dan kepentingan perusahaan.
Intinya sih gua lagi ngomongin tentang masalah otonomi. Emang gak masalah sih di awal. Di minggu pertama dan kedua, gua sangat amat excited dengan destinasi terbaru yang akan gua datangi. Sayangnya, ketika kita selalu berpindah setiap harinya tanpa otonomi sama sekali. Ya lama-lama kita akan burnout. Capek.
Travelling bukan lagi sebuah liburan. Tapi sebuah keharusan. Travelling menjadi sebuah pekerjaan yang harus diselesaikan, bukan lagi pengalaman yang kita inginkan.
Makanya jangan kaget kalo lo ketemu orang yang pekerjaannya adalah travelling, gak jarang mereka lebih suka diam di rumah dibandingkan keliling-keliling. Karena ya gitu.
Pengalaman sunset-nya bakal gitu-gitu lagi, pengalamannya juga gak terlalu menarik karena ada stress karena deadline pekerjaan, dan tubuh kita pun akan merasa lelah karena ada paksaan waktu untuk perjalanan pulang dan pergi.
Ini di Jepara. Golden hour |
Lalu apa yang bisa kita pelajari dari cerita ini? Well, dulu tuh gua selalu membayangkan dan memimpikan pekerjaan yang membuat gua bisa travelling setiap waktu. Sayangnya setelah gua merasakannya, justru gua malah jadi mikir sebaliknya. Seperti judul artikel ini: I hate travelling.
Tapi ya gak selebay itu juga sih. Gua masih menikmati travelling. Gak jadi benci kok, travelling akan tetep jadi little dreams gua. Tapi ya buat selingan aja. Dan prioritasnya gak setinggi itu lagi. Apalagi untuk menjadi pekerjaan tetap, kayaknya nggak deh setelah pengalaman gua bekerja sebagai traveller.
Kesimpulannya, kita gak akan pernah tahu hidup yang kayak gimana yang kita pengen, sampe kita bener-bener menjalaninya. Hal yang kita inginkan bisa jadi bukan hal yang kita butuhkan. Begitu pun sebaliknya.
Maka dari itu, yang bisa kita lakukan adalah selalu bersiap dan tidak berekspektasi terlalu tinggi terhadap mimpi-mimpi kita, baik yang big dream maupun little dreams. Karena bisa jadi, pekerjaan yang kita impikan bukanlah pekerjaan yang kita inginkan.
Gitu aja sih.
Terima kasih sudah membaca, ya! Cheers!
Ifandi Khainur Rahim.